Jumat, 01 April 2011

Kafe di Batu Gong (Studi Kasus)

Sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya sebagai kepala Seksi Pemanfaatan Ruang bukan kapasitasnya membahas masalah sosial apalagi untuk hal-hal yang berhubungan dengan norma agama. Walaupun demikian sebagai anggota masyarakat penulis ingin juga mencoba mengemukakan pendapat bagaimana memecahan masalah yang terjadi di kawasan wisata pantai Batu Gong Sumbawa Besar.
Sebelum dibahas lebih lanjut penulis persilahkan pembaca menyimak tulisan dibawah ini yang kami kutipkan dari laporan utama MAJALAH HIDAYATULLAH. Tulisan ini kami kutip untuk memperluas wawasan kita semua terhadap pemecahan masalah untuk kasus-kasus yang mirip dengan kasus yang ada di kawasan wisata Pantai Batu Gong.
Selesai membaca tulisan ini diharapkan kita dapat menganalisa lebih lanjut persamaan dan perbedaan kasus yang terjadi di Jakarta dan di Bandung dibandingkan dengan kasus Batu Gong di Sumbawa.
Pada bagian akhir tulisan dari Majalah Hidayatullah ini, Penulis mencoba melakukan analisis sehingga didapat bayangan yang lebih jelas tentang kebijaksanaan yang sebaiknya ditempuh berkaitan dengan masalah Batu Gong

MAJALAH HIDAYATULLAH
LAPORAN UTAMA 21 MARET 2011

BELAJAR DARI KRAMAT TUNGGAK DAN SARITEM

Kramat Tunggak resmi ditutup pada akhir tahun 1999. Kemudian April 2007 giliran Saritem. Kapan Dolly akan menyusul?
31 Desember 1999. Sebuah papan putih dengan tulisan tebal berwarna hitam ditancapkan di lokasi pelacuran Kramat Tunggak, Koja, Jakarta Utara. Bunyinya: PENGUMUMAN. BERDASARKAN SK. GUBERNUR KDKI JAKARTA NO. 6485 TAHUN 1998 LOKASI REHABILITASI SOSIAL/LOK-RES WTS KRAMAT TUNGGAK TERHITUNG 31 DESEMBER 1999 DINYATAKAN TERTUTUP.
Lokasi pelacuran seluas 10,5 hektar dan kesohor se-Asia Tenggara itu resmi ditutup. Di tanah itu kini telah berdiri bangunan megah sebagai sentra keislaman, Jakarta Islamic Centre (JIC).
Namun upaya menutup Kramtung –demikian komplek pelacuran ini biasa disebut– bukan hal mudah. Tantangan keras datang dari para germo, pelacur, dan pihak-pihak berkepentingan lainnya. Berbagai alasan muncul, dari alasan perut hingga alasan politis.
Menurut buku Jakarta Islamic Centre: Dari Ufuk Timur yang Cemerlang terbitan JIC, ditutupnya Kramtung dilatarbelakangi kuatnya desakan masyarakat serta rekomendasi hasil penelitian yang dilakukan oleh Dinas Sosial dan Universitas Indonesia tahun 1996/1997 dan 1997/1998.
Mengingat parahnya dampak keberadaan Lokasi Rehabilitasi Sosial (lokres) Kramtung bagi masyarakat seperti tingginya angka kriminalitas, rusaknya nilai sosial masyarakat, hingga tingginya penyebaran penyakit akibat perzinaan (HIV/AIDS, Sipilis, dan lainnya), tim peneliti merekomendasikan: Lokres Kramat Tunggak harus ditutup selambat-lambatnya akhir Desember 1999.
Lokres Kramtung didirikan pada masa kepemimpinan Gubernur Ali Sadikin menyusul marak dan rumitnya masalah pelacuran di Jakarta pada tahun 1970-an. Pemda DKI saat itu, sebagaimana ditulis di buku Bang Ali, Demi Jakarta 1966-1977, tidak dapat membenarkan dan mendiamkan saja aksi pelacuran di tempat-tempat ramai dan terbuka.
Saat melakukan kunjungan ke Bangkok, Thailand, Ali Sadikin melihat pelacuran di sana tidak tersebar melainkan dilokalisasi di satu tempat. Ide tersebut pun dibawa ke Jakarta. Pertimbangannya, agar ibu kota tidak terlihat jorok.
Usai ditetapkannya SK.Gubernur KDKI Jakarta No.Ca.7/I/13/1970, para pelacur yang umumnya tersebar di daerah Senen dan Kramat Raya dipindahkan ke Kramat Tunggak. Sebuah kawasan terpencil di ujung utara Jakarta.
“Dulu daerah ini susah dijangkau,” kata Dian Apriadi, mantan preman sekaligus calo di Kramtung yang kini menjadi petugas keamaanan JIC.
Idealnya lokres didirikan agar pelacur tidak menjajakan diri di pinggir-pinggir jalan, mengurangi dan melokalisasi praktek prostitusi serta merehabilitasi mental dan spiritual. Juga mengobati penyakit akibat seks bebas, dan pemberian keterampilan agar para pelacur bisa berpenghasilan halal ketika suatu saat mereka sadar.
Celakanya, Kramtung malah berkembang sangat pesat dan terkenal hingga Asia Tenggara. Jika pada awal berdirinya terdapat sekitar 300 pelacur dengan 76 germo, pada tahun 1980-1990 membengkak menjadi lebih dari 2.000 pelacur di bawah asuhan 258 germo. Menjelang ditutup pada 1999, ada 1.600 pelacur dan 258 germo.
Bukan cuma pelacur dan germo yang meningkat tajam, luas areal lokres pun bertambah. Dari hanya 5 hektar menjadi lebih dari 10 hektar ketika akan ditutup.
Menurut Ustadz Syarifin Maloko, salah seorang tokoh umat Islam Jakarta Utara, tidak jalannya proses pembinaan kepada para pelacur telah membuat lokres Kramtung menjadi besar. Kata Syarifin, yang terjadi di sana bukan pembinaan, melainkan regenerasi tunasusila.
“Yang tua dipulangkan yang muda masuk. Pada tahun 1969 umur mereka masih belasan, tapi pas mau ditutup itu masih tetap muda-muda. Padahal kalau dihitung kan sudah nenek-nenek,” ujar ustadz yang kerap menggerakkan masa menuntut penutupan Kramtung ini.
Tuntutan penutupan Kramtung disambut oleh Sutiyoso, gubernur DKI pada era akhir tahun 1999. Meski kebijakan Sutiyoso menutup dan mengubah Kramtung menjadi Islamic Center dinilai sebagian kalangan sebagai kampanye dia agar terpilih kembali sebagai gubernur.
Menjelang penutupan, para pelacur, germo, pengelola hiburan, dan semua yang terlibat telah diberi imbauan agar tidak mengulangi praktek prostitusi. Khusus bagi para pelacur diberikan pelatihan seperti menjahit, membuat kue, merias, memotong rambut, dan memasak. Lalu mereka diberi modal dan dipulangkan ke daerah asal.
Namun Sutiyoso sendiri mengakui, masalah pelacuran di Jakarta belum selesai dengan ditutupnya Kramtung. Pada realitasnya banyak bekas pelacur Kramtung yang pindah ke tempat lain. Bahkan ada yang beroperasi secara sembunyi di perkampungan penduduk.
Meski begitu, penutupan Kramtung adalah langkah besar dalam menangani masalah pelacuran di Indonesia. Kramtung ditutup menjelang bulan Ramadhan tanpa keributan.
Dian, sang mantan preman pun bersyukur. “Bukan saja ada ganti rugi, tapi malah ganti untung. Yang sebelumnya tidak ada pekerjaan dapat pekerjaan, yang rumahnya digusur juga diganti,” ujarnya.
“Saya seperti orang yang tercebur lalu dimandikan. Alhamdulillah, saya bisa membersihkan diri di tempat dulu saya main kotor,” ungkap Dian.
Wajah Baru Saritem
Kabar baik lainnya datang dari Bandung. Pada 18 April 2007, lokalisasi prostitusi Saritem yang muncul sejak tahun 1800-an resmi ditutup oleh Walikota Bandung, Dada Rosada. Sepuluh hari sebelum esksekusi penutupan, saat deklarasi Bandung Maksiat Watch (BMW), Walikota Dada Rosada memang telah berjanji menutup Saritem selamanya. Dan, janji itu terpenuhi.
“Alhamdulillah, saat itu berjalan lancar meski ada juga beberapa anggota kami yang terluka,” kenang Syarief Hakim (60), mantan Kepala Bagian Operasi Satpol PP Kota Bandung kepada Suara Hidayatullah.
Syarief yang saat itu menjadi komandan lapangan mengaku, sulitnya menutup Saritem karena banyak faktor, di antaranya masalah sosial dan ekonomi. Dari sisi sosial karena kawasan tersebut telah ”hidup” sejak ratusan tahun hingga perlu pendekatan sosiologis yang tepat.
“Saat itu kita perkirakan WTS-nya saja ada 600 orang. Bisa dibayangkan gejolak sosial yang akan timbul jika urusan dapur tersebut distop mendadak tanpa pendekatan dan solusi yang tepat,” kenang Syarief.
Namun kata Syarief, berkat dukungan dan komitmen semua pihak akhirnya Saritem pun ditutup. Hal ini juga diamini Asep Syarifudin, Direktur Bandung Maksiat Watch. “Kuncinya komitmen dan kesungguhan. Buktinya, Saritem yang sudah ratusan tahun bisa kita tutup. Tentunya juga atas ridha Allah,” katanya.
Jauh hari sebelum ditutup, Pemkot Bandung telah menyiapkan sarana pembinaan mental-ruhani warga Saritem dengan mendirikan sebuah Pondok Pesantren pada 2 Mei 2000. Namanya Pesantrens Daar At-Taubah Al-Islamiyyah yang dipimpin oleh KH Ahmad Haedar.
Menurut Ahmad Haedar, kehadiran pondok tersebut di Saritem sangat berpengaruh pada perilaku dan kebiasaan masyarakat setempat. Hal itu ditunjukkan dengan mulai berkurangnya pelacur di kawasan tersebut.
”Pastinya kita tidak tahu, tetapi menurut beberapa laporan memang terjadi penurunan tiap tahunnya,” jelas Ahmad Haedar.
Pola pembinaan yang dilakukan bersama aparat RT dan RW setempat yakni dengan mengumpulkan para pelacur, calo, germo di satu tempat untuk diberi arahan dan siraman ruhani. Tidak langsung dibawa ke pondok.
Selain membina para mantan pelacur, Pesantren Daar At-Taubah juga membina anak-anak kompleks pelacuran Saritem. ”Saat ini yang mondok ada 45 santri putra dan 35 santri putri. Namun jangan berpikir mereka semua dari kalangan WTS, banyak yang berasal dari keluarga baik-baik,” jelas Ahmad.
Untuk menekan kembalinya prostitusi di kawasan itu, Pemkot Bandung membeli rumah dan tanah di bekas lokalisasi. Rencananya lahan tersebut akan dijadikan taman kota, dan sebagiannya untuk perluasan Pesantren Daar At-Taubah.
Meski Saritem belum sepenuhnya steril dari pelacuran, Ahmad tetap optimis. ”Jika program Pemkot Bandung telah berhasil membeli rumah dan tanah warga di kawasan ini, insya Allah kawasan ini bebas maksiat akan terwujud,” ujarnya.* SUARA HIDAYATULLAH, PEBRUARI 2011
Kepala Dinas Sosial Surabaya: Eko Haryanto
Dolly Tidak Bisa Ditutup Langsung
Tentang penutupan Dolly, apa pendapat Anda? Kalau gubernur, wagub, dan MUI sepakat menutup lokalisasi Dolly, ya, silakan saja. Asalkan tidak menimbulkan gejolak sosial yang besar. Kalau kita melihat dari sisi agama oke, maksiat tidak boleh ada.
Bukankah penutupan Dolly merupakan solusi berbagai penyakit? Dari sisi kesehatan HIV/AIDS meningkat, cukup memprihatinkan. HIV/AIDS betul terjadi penularan lewat seks, tapi sebenarnya secara komprehensif tidak itu saja. Persoalan secara moral, mental manusia itu sendiri sangat dominan. Karena itu, kalau melihat itu, tidak hanya sekedar tutup-menutup.
Bagaimana dengan program Dinas Sosial? Sebenarnya program-program menutup itu, mengurangi angka WTS, dan sebagainya sudah kita lakukan sejak tahun 2000 melalui berbagai program. Itupun masih banyak terjadi prostitusi WTS yang liar.
Kenapa bisa begitu? Mungkin karena sudah tidak laku lagi di tempat prostitusi itu, sehingga menyebar mencari segmen-segmen yang memang harganya di bawah standar lokalisasi. Bisa juga karena ada yang asalnya dari daerah yang tidak laku dan memang mencari uang itu sulit dan masuk ke Surabaya mencari segmen bawah.
Tidak bisa dibayangkan jika ditutup frontal seperti di Jakarta. Mereka bisa menyebar kalau kita tidak menyiapkan infrastruktur dan menyiapkan apa yang harus mereka lakukan sehingga mereka tidak melakukannya lagi.
Buktinya lokalisasi Kramat Tunggak sukses dijadikan Islamic Center? Siapa bilang Kramat Tunggak sukses? Sekarang di Jakarta memang tempat prostitusi yang terlokalisasi tidak ada, tapi coba lihat mereka banyak sekali di jalan-jalan.
Saya juga sering berbicara dengan sopir taksi, bus, angkot dan sebagainya, bagaimana dengan penutupan Kramat Tunggak. Mereka bilang semua ada di jalan. Untungnya Jakarta luas sehingga tidak begitu tampak. Coba kalau di Surabaya, saya nggak bisa membayangkan.
Apa dampaknya jika Dolly ditutup? Sektor ekonomi ada, mikro ekonomi ada, rumah tangga ada. Jadi, di sana itu semacam salah satu mata pencaharian. Di situ ada banyak toko, toko emas, toko pakaian, salon, dan sebagainya. Dan itu saya tidak bisa membayangkan sekali kalau tutup.
Langkah apa saja yang telah dilakukan pemerintah? Setiap tahun, setiap bulan puasa kita tutup dan kita perketat untuk mendatangkan WTS yang baru. Ini ternyata memberikan dampak signifikan. Mulai tahun 2003 kita melakukan pengajian di lokalisasi untuk para WTS. Sejak tahun 2010, pengajian itu kita tingkatkan.
Setiap bulan kita lakukan. Kalau dulu pengajian massal, mendatangkan sekian ratus WTS. Tapi nampaknya belum berdampak besar. Karena itu, tahun 2010 kita lakukan setiap bulan setiap lokalisasi. Jadi, 72 kali dalam setahun di enam lokalisasi.
Upaya lain, setiap tahun mengundang lurah. Setiap tahun ada sekian ratus PSK yang dilatih keterampilan untuk persiapan ketika pulang. Biasanya mereka minta salon, tataboga dan kerajinan tangan. Jika mereka siap alih profesi, kita siapkan pelatihan ketrampilan. Setelah itu, kita berikan bantuan atau hibah sosial untuk modal usaha. Itu kebijakan walikota.
Bagaimana kemajuannya? Kita berhasil memulangkan ke daerah asal sebanyak 20 WTS. Sepuluh WTS kita tempatkan di UPT kediri, 10 lagi ada yang menikah, ada yang kerja dan kembali ke keluarganya.
Di Dupak Bangunsari, tokoh agama dan masyarakat sangat sabar mempengaruhi warganya yang berprofesi sebagai PSK dan mucikari. Di sana dibangun dua panti sosial, kemudian ada dua langgar. Yang satu hibah dari mucikari.
Lokalisasi di sana sudah dikepung dengan rumah-rmah ibadah. Karena itu, model pendekatan itu yang kita akan kembangakan di lokalisasi lain.
Bagaimana dengan Dolly? Tapi Dolly karakternya beda dengan Bangunsari. Kalau Bangunsari mayoritas rumah tangga dan pekerja. Sedangga di Dolly ada rumah tangga, tapi mereka mayoritas mencari dari dampak itu. Di sana itu ada jaringan sangat kuat. Karena itu, kita mengkristalisasi, bekerja sama dengan aparat.
Kalau itu oknum, harus ditindak tegas, silakan. Itu untuk mempercepat proses mempersempit. Dan itu yang paling sulit, jaringan. Sebagai pelaku, tapi di belakang layar. Mereka yang masuk ke Dolly mereka yang naik kelas (segmenya). Jadi saat ini, kelas lokalisasi tertinggi di Jawa Timur adalah Dolly. Karena itu, penangannya paling berat Dolly.* SUARA HIDAYATULLAH, PEBRUARI 2011

Ketua PWNU Jatim: KH Mutawakkil ‘Alallah
Kramat Tunggak Saja Bisa, Kenapa Dolly Tidak?
Apa respon NU terhadap wacana penutupan Dolly yang digulirkan Gubernur Jatim, Soekarwo?
Tentunya, NU, dan saya yakin ormas lain juga sangat memberikan apresisasi tinggi terhadap wacana tersebut. Pertama, karena masyarakat, baik dalam mupun luar negeri, selama ini mengenal lokalisasi Dolly sebagai tempat pelacuran ketiga yang penghuninya terbesar di Asia Tenggara.
Di sisi lain, di Jawa Timur memiliki jumlah pesantren yang terbanyak. Nah, jadi sangat tidak tepat sekali apabila Dolly tetap dipertahankan, baik dari perspektif logika, agama dan etika. Dulu, sebelum ada wacana dari penguasa, kita mengingkari dengan hati.
Lebih dari itu, dampak negatif prostitusi sangat besar, terutama dalam hal kesehatan. Menurut hasil riset berbagai LSM dan Dinkes sendiri, sudah banyak remaja yang tertular penyakit kelamin, seperti HIV/AIDS, bahkan balita yang baru lahir sudah tertular penyakit.
Di sisi lain, ada ancaman dari Nabi, sebagaimana diriwayatkan Abu Daud: “Allah tidak akan menurunkan azab kepada masyarakat secara umum akibat perbuatan jelek orang tertentu, kecuali masyarakat umum itu tidak mengingkari perbuatan durhaka dan jelek itu, padahal mereka mampu untuk mengingkari. Ketika itu terjadi, maka Allah akan menurukan azab bukan saja pada mereka tapi yang tidak terlibat pun akan terkena azab Allah.”
Apakah seluruh ormas setuju? Saya yakin, semua masyarakat di sana setuju dengan penutupan itu. Yang nggak setuju mucikari, para pendatang yang para pengais rezeki di situ. Hanya saja, bagaimanapun juga, PSK juga manusia. Mereka punya hak untuk hidup.
Karena itu, solusinya menggali keahlian para PSK, dengan memberi pelatihan salon, jahit, dan sebagainya. Setelah itu, baru dipulangkan oleh pemerintah provinsi ke daerah asal mereka, baik kota maupun kabupaten. Tapi tetap pengawasan dari provinsi.
Apa saran Anda untuk ormas-ormas Islam di Jatim? Saya himbau kepada MUI untuk mendatangi walikota Surabaya dan DPRD Surabaya. Saya akan tagih PKS (Partai Keadilan Sejahtera), apakah setuju dengan keberadaan Dolly atau setuju dengan gerakan menutup Dolly?
Saya yakin, kalau ada orang mengaku dirinya Muslim, jika ragu dengan penutupan Dolly, maka perlu dikorek lagi keislamannya, karena tidak konsisten dengan syariat Islam. * SUARA HIDAYATULLAH, PEBRUARI 2011

Analisa
Terdapat perbedaan kondisi terhadap kasus di Jakarta (Kramat Tunggak), Bandung (Saritem) dengan Kawasan Batu Gong. Perbedaan tersebut adalah
  1. Kawasan Kramat Tunggak dan Saritem jelas merupakan daerah Prostitusi. Sedangkan Kawasan Batu Gong masih dipertanyakan apakah daerah Prostitusi atau Bukan. Walaupun demikian bila dibiarkan tanpa pembinaan dan pengarahan akan mengarah ke wilayah Prostitusi juga.
  2. Kramat Tunggak dan Saritem dahulu dilegalkan oleh Pemerintah Daerah sebagai daerah Prostitusi. Sedangkan Batu Gong dari semula memang ilegal. Bahkan tidak ada satupun bangunan yang memiliki Izin mendirikan Bangunan
  3. Status tanah di Batu Gong sama dengan di Saritem yaitu tanah pribadi bersertifikat.
Solusi
  1. Pemerintah Kota Madya Bandung langsung membangun Pesantren dikawasan saritem, dan secara bersamaan menutup kawasan Prostitusi dan membeli tanah milik pribadi untuk dijadikan Taman dan tempat Ibadah.
  2. Karena tanah yang dipakai untuk daerah Prostitusi milik pemerintah, Pemda DKI langsung menutup kawasan Kramat Tunggak sebagai daerah Prostitusi dan di tanah yang sudah dibebaskan tersebut dibangun Jakarta Islamic Center.
  3. Di Sumbawa, mengingat keterbatasan anggaran, pemerintah hanya membebaskan bangunan yang berada di tepi pantai untuk di jadikan Ruang Terbuka Hijau, boleh dibangun restoran dengan persyaratan ketat. Pemerintah Daerah sebaiknya membeli tanah di tepi pantai untuk di bangun Majid atau islamic Center guna menetralisir kesan daerah Cafe. Kawasan sebelah kiri jalan dari Sumbawa menuju Tano tetap dijadikan Resting Place.
  4. Perbup Tentang Tata Bangunan dan Lingkungan di Kawasan Wisata Pantai Batu Gong adalah upaya untuk menetapkan landasan hukum bagi Pemda Sumbawa dalam rangka penertiban kawasan Batu Gong.
  5. Pemindahan Cafe di Pantai Batu Gong ke Batu Kuping atau Tanjung Menangis, berarti melegalkan Cafe yang proses selanjutnya akan berkembang seperti daerah Kramat Tunggak di DKI Jakarta 
Alhamdulillah sekarang kondisi Batu Gong di Sumbawa Besar telah berubah Lihat Foto-foto dibawah yang saya kutip dari Berita Sumbawa News 24 Januari 2013



Terima Kasih kepada Tuan Guru Bajang Gubernur NTB. Anda begitu berwibawa' perintah anda langsung dipatuhi. Kondisi seperti ini seharusnya sudah dilakukan sejak Maret 2012 sesuai dengan Dead line Bupati Sumbawa bahwa Batu Gong Harus ditutup, tapi tidak jadi dengan alasan yang tidak jelas.

  1.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar